Kediri, 20 Juni 2019

G2 Ponorogo

AntriDaftar

Waktu itu, aku berdiri di balik pepohonan mengintip aktivitas orangtua dan anak di deretan keran tempat berwudhu. Ada banyak pasang anak dan orangtua sedang mencuci pakaian. Semakin menarik perhatianku akupun mendekat. Sambil tersenyum kuperhatikan para ayah begitu asik mengajarkan putra mereka mencuci pakaian. Ada yang mengajarkan dengan memberi contoh, ada pula yang mengomando dengan lisannya. Sesekali terdengar nasihat dari sang ayah. Hari itu dan beberapa hari lainnya banyak orangtua sibuk mempersiapkan putranya untuk bisa mencuci pakaian, menjemur dan melipat pakaian dengan rapi walau tak disetrika. Umur mereka kisaran 12-13 tahun. Entah selama ini apa saja yang sudah dilakukan di rumah masing-masing, belajar nyucinya kok baru sekarang. Demikian pikiran itu melintas di kepalaku.

Aku pun melanjutkan langkah menuju kamar mandi yang antriannya MasyaaAllah, satu kamar bisa antri hingga 10-12 orang. Haha.. emezing, di sini aku melihat banyak ibu yang mencuci pakaian di jejeran keran untuk berwudhu. Termasuk mencucikan pakaian putranya. 
Antrian yang begitu panjang membuatku pindah ke lokasi kamar mandi yang lain.
Di lokasi yang baru aku mengantri air, kamar mandinya ada banyak, tapi airnya yang harus bawa sendiri. Sambil menunggu air penuh, dua orang anak ada di hadapanku sambil mencuci pakaian. Ia membawa sebatang bambu kecil. Aku pun menyapa, "Buat apa ya bambu itu?" Ia menjawab, "Untuk mengucek pakaian. Begini Bu caranya." Aku tersenyum memperhatikan caranya mencuci baju. 

Kemudian ia bercerita bahwa kemarin, pakaian sempat dibilas sebanyak 8kali. Aku pun tertawa saat mereka katakan alasannya. Bajunya jatuh bu di tanah, dibilas lagi, djemur jatuh dst. Kali ini sudah mengerti bu, kalau menjemur pakaian, perlu hanger atau jepitan baju. Karena ada banyak angin di tempat menjemur.

Urusan mencuci pakaian saja buatku sudah cukup menarik. Belum lagi urusan menata koper, tidur, membersihkan kamar, mengantri makanan, adab pada kakak kelas dan guru serta orang yang lebih tua. Cara belajar anak dan urusan disiplin lainnya. Ya, di sini instan dan tidak instan bisa dilihat. Bagi mereka yang sudah terbiasa melakukan aktivitas itu di rumah masing-masing, terasa ringan, biasa saja. Bagi yang baru belajar, terasa menyenangkan dan cukup menyita waktu.

Mataku tertuju pada ayah dan anak yang asik ngobrol, entah apa yang dibicarakan, merekapun bangkit dari jongkok, kemudian sang anak melingkarkan tangannya di pinggang ayah. Terlihat harmonis dan penuh keakraban. Pemandangan seperti itu banyak kujumpai. Entah mengapa, aku pun turut berbahagia. Fatherless.. ya di sini, aku melupakan kata itu. Karena aku melihat banyak ayah yang begitu telaten mengurus putra-putranya. 

Dua putra kembarku datang menghampiri, aku tersenyum mendengar setiap ceritanya. Beberapa kali aku merasa bersyukur. Mereka pandai mencuci pakaian dan rentetan lainnya. Barangkali beberapa fitrahnya sudah tumbuh dengan baik, itu yang kuharapkan. Di sini aku tak secerewet di rumah dan tak banyak nasihat yang kusampaikan. Ikhlas.. hanya itu saja. Selamat hidup di perantauan. Inilah tempat magangmu nak. Kuingat nasihat seorang guru di perantauan, "Ibarat sedang menanak nasi, memasak ubi, jangan sering dibuka tutupnya. Bisa jadi matangnya tidak akan sempurna. Mentah tidak, matangpun tidak." Ya, kami ikhlaskan kalian di perantauan.  Sedikit menjenguk, dan akan teramat sering mendo'akan.

Wahai para bunda yang telah diberikan amanah oleh sang Maha Pemberi Amanah, jangan pernah lalai dengan tugasmu. Sampaikanlah kebaikan dan kebenaran pada putra putrimu. Walau hanya urusan yang sangat kecil. Walaupun mungkin mereka terlihat mengabaikannya. Yakinlah, di bumi perantauannya nanti, semua yang engkau usahakan untuknya akan selalu diingat. Karena apa yang engkau yakini itulah yang Allah kehendaki.

#GontorDarussalam
#KampungDamai
#MembangunPeradaban